Cara Menentukan Waktu Puasa
Puasa merupakan ibadah mahdhah, artinya ibadah murni yang dibaktikan untuk mendapatkan keridaan Allah semata. Karena itu, kalau kita benar-benar mengharapkan ibadah puasa kita diterima oleh Allah, maka kita harus menjalankan ibadah ini sesuai pedoman dan tuntunan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tanpa menambah atau pun mengurangi sama sekali.
Di dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat nash al-Qur’an dan Sunnah yang sharih (clear statement) yang bersifat qath’i (sudah kuat petunjuknya), yang menerangkan adanya kaitan/hubungan antara waktu perintah melaksanakan puasa dengan gerakan/perjalanan matahari (lokasi atau posisinya).
Di negara seperti Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, perbedaan malam dan siang tidak banyak, maka penentuan waktu mulai menahan atau melakukan puasa (imsak) sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 yaitu dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari.
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187
فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”
Cara Puasa di Daerah Abnormal
Ketetapan hukum Islam yang diperoleh dari nash al-Qur’an dan Sunnah yang qath’i dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Namun, sesuai dengan asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis, tidak menyulitkan, dalam batas jangkauan kemampuan manusia, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan waktu zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu puasa berdasarkan al-Baqarah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang normal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa (equator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan).
Adapun waktu puasa bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah di luar daerah khatulistiwa dan tropis, yakni di daerah-daerah di luar garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar kutub utara/selatan yang 6 bulan terus menerus dalam keadaan siang dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu puasa di daerah normal yang terdekat, yakni pada garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan.
Pendapat ulama tentang cara puasa di daerah abnormal
Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H bertepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M. telah menerbitkan ketetapan tentang masalah ini. Selain itu juga ada ketetapan dari Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H. Kedua majelis ini membagi masalah ini menjadi tiga kasus yaitu:
Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.
Pendapat Lain:
Namun ada juga pendapat lain seperti apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan:
Mengikuti Waktu HIJAZ
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan. Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, menentukan waktu berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/ menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat mekkah yang berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam perhari, maka mereka juga harus berpuasa selama itu.
Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim] Dan demikianlah halnya kewajban-kewajiaban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
Mengikuti Waktu Negara Islam Terdekat
Karena untuk melaksanakan kewajiban agama tak ada alternatif lain yang memang tidak sukar dilaksanakan dan dapat mendatangkan faedah yang diharapkan yaitu memperkirakan hari, malam dan bulan di daerah-daerah kutub itu dengan waktu di negeri-negeri yang terdekat yang mempunyai waktu-waktu yang biasa, yang malam dan siangnya nampak perbedaannya sehingga puasa dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan hikmah kewajiban-kewajiban tersebut dengan tidak menimbulkan kepayahan dan menghabiskan tenaga. Pendapat yang mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat ini, dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim. Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
Negeri Dekat Kutub
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Lamanya berpuasa hanya bervariasi antara 13 – 14 jam. Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Puasa pada bulan Juni, seperti pada tahun 1983, merupakan puasa terpanjang bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpendek bagi wilayah di belahan bumi selatan. Sedangkan puasa pada bulan Desember – Januari, seperti terjadi tahun 2009 sampai 2001, merupakan puasa terpendek bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpanjang bagi wilayah di belahan bumi selatan. Puasa pada bulan Juni atau Desember merupakan saat ekstrim yang perlu dibahas.
Selain karena lamanya puasa menjadi sangat panjang atau sangat pendek, bisa terjadi pula tidak adanya tanda awal fajar atau tidak adanya tanda maghrib. Sedangkan batasan waktu puasa menurut dimulai pada awal fajar dan diakhiri pada (awal) malam (atau maghrib). Pada keadaan ekstrim seperti itu, di daerah lintang tinggi bisa terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan mesti memulai puasanya. Bisa juga terjadi malam terus sehingga awal fajar dan maghrib untuk memulai dan berbuka puasa tidak bisa ditentukan.
Keadaan tersebut terjadi di negara-negara yang sejajar dengan Belanda, Jerman, Inggris, Polandia, Rusia atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark, yaitu pada waktu siang akan lebih lama di musim panas, dan jika musim dingin, waktu siang lebih singkat daripada waktu malam. Sehingga waktu puasa atau ibadahnya menyesuaikan waktu setempat, pada saat musim panas mereka berpuasa sekitar 18 jam lebih dari mulai jam 02.00 sd 21.00 dan pada saat musim dingin mereka hanya berpuasa selama 7 jam, dari mulai jam 04.00 sd 14.00.
Semua ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah hasil ijtihad dari para ulama berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah serta qaidah-qaidah yang dijadikan tuntunan dalam ijtihad mereka. Adapun dalil-dalil syar’i yang memberikan rukkhshah bagi masyarakat Isalam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu puasa dari daerah normal yang terdekat, antara lain sebagai berikut:
QS. Al-Haj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ....
“Dan Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama untuk kesempitan.” (QS. al-Hajj:7)
Dan QS. Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا .....
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S al-Baqarah: 286)
Hadits Nabi Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah ra.:
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبَ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ.
“Agama Islam itu mudah, tiada seorang pun yang akan mengalahkan/menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia.”
Dan Hadits Nabi Riwayat al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, dan Ahmad:
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Hendaklah kamu permudah, janganlah kamu persulit. Dan hendaklah kamu gembirakan, jangan kamu bikin mereka lari menjauhi.”
Kaedah-kaedah hukum Islam:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan itu membawa kemudahan.”
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang terlarang.”
مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Hal-hal yang diperbolehkan karena keadaan terpaksa itu diperkirakan menurut kadar/seperlunya saja.”
Asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis, tidak sulit dan menyulitkan, dalam batas jangkauan manusia yang normal, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan.
Komentar